Menko Marves, Luhut Pandjaitan, menegaskan pada pihak Kereta Cepat Indonesia Cina untuk mempercepat penyelesaian konstruksi saat kunjungan kerja ke proyek pengerjaan jalur kereta cepat Jakarta Bandung (KCJB) di area Stasiun Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Senin 12 April 2021. Padalarang rencananya akan dikembangkan jadi stasiun perhentian KCJB yang sudah memiliki akses rel kereta ke arah pusat Kota Bandung. TEMPO/Prima Mulia
arsipsumut.com
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yakin pendanaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung hingga saat ini masih menggunakan skema kerja sama business to business atau B2B.
"Kita masih bikin kerja sama dengan Cina. Masih B2B," ujar Luhut saat ditemui di Hotel Mandarin Oriental Jakarta, Rabu, 12 Oktober 2022.
Meski begitu, ia mengatakan bukan tidak mungkin pemerintah mengalokasikan dana APBN untuk menyubsidi proyek kereta cepat itu. Apalagi saat ini penerimaan pajak mencapai lebih dari Rp 12 triliun. "Jadi kalaupun APBN mensubsidi ke KAI, saya kira itu masih masuk, lah," ucap Luhut.
Sebelumnya, Direktur PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau PT KAI Didiek Hartantyo menyatakan Penyertaan Modal Negara atau PMN akan sangat membantu keberlangsungan proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung, yang ditargetkan beroperasi pada Juni 2023.
Jika PMN tidak cair pada tahun ini, kata Didiek, maka bisa berdampak pada keterlambatan penyelesaian proyek kereta cepat tersebut.
"Cashflow PT KCIC itu akan bertahan mungkin sampai dengan September. Sehingga kalau ini (PMN) belum turun, maka cost overrun yang penyelesaiannya diharapkan Juni 2023, ini akan terancam mundur," ujarnya pada Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi V DPR, Rabu, 6 Juli 2022.
DPR sebelumnya menyetujui pemberian PMN sebesar Rp 4,1 triliun. PMN akan digunakan untuk mendanai cost overrun Proyek KCJB (Kereta Cepat Jakarta–Bandung).
Pada tahun 2021, proyek patungan antara Indonesia dan Cina itu juga sudah pernah disetujui untuk mendapatkan PMN sebesar Rp 4,3 triliun sebagai setoran modal konsorsium BUMN Indonesia.
Didiek mengatakan bahwa saat ini cost overrun proyek KCJB diperkirakan mencapai US$ 1,17 miliar sampai dengan US$ 1,9 miliar (sekitar Rp 17 triliun sampai dengan Rp 28 triliun). Pembengkakan biaya itu terdiri dari untuk keperluan pembebasan lahan, Engineering Procurement Construction (EPC), financing cost, praoperasi, dan lain-lain.
Nilai pembengkakan biaya proyek kereta cepat ini sudah ditemukan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan nilainya mencapai US$1,176 miliar atau setara dengan Rp 16,8 triliun. Hasil temuan tersebut sudah diserahkan kepada Kementerian BUMN pada Maret 2022.
Direktur Utama PT KCIC Dwiyana Slamet Riyadi menyatakan potensi biaya baru yang ditemukan setelah review BPKP berasal dari pajak transaksi pengadaan lahan dengan konsorsium BUMN PT PSBI (Pilar Sinergi BUMN Indonesia).
"Adanya proses transaksional KCIC dan PSBI memunculkan adanya potensi pajak karena perusahaan terafiliasi. Ada transaksi uang yang dipakai KCIC untuk PSBI guna pembebasan lahan," ujar Dwiyana, Jumat, 24 Juni 2022.
PSBI di sini bertindak sebagai pemohon penerbitan HPL (hak pengelolaan lahan) kepada negara untuk KCIC guna pembukaan lahan. Setelah HPL terbit, baru HGB (hak guna bangun) diterbitkan atas nama KCIC.
Dwiyana menjelaskan, atas transaksi tersebut, perusahaan konsultan menemukan temuan potensi biaya baru senilai Rp 2,3 triliun berbentuk biaya PPh (Pajak Penghasilan) dan PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Sementara itu, tarif PPN per April 2022 bertambah 1 persen dari awalnya 10 persen menjadi 11 persen.
Dengan munculnya kenaikan PPN 10 persen ke 11 persen berdampak ke temuan membengkaknya biaya proyek kereta cepat oleh BPKP. "Pajak tidak bisa dihindari karena kewajiban kepada negara 11 persen atas transaksi pengadaan lahan, dan nantinya kembali ke negara," kata Dwiyana.
Sementara itu, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung di atas kertas memang diselenggarakan seolah-olah B2B. Tetapi pada prinsipnya, pemerintah telah memberikan dana talangan kepada proyek infrastruktur itu melalui PMN ke Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Jadi sudah bisa dikategorikan sebagai hidden debt atau utang tersembunyi," ucapnya ketika dihubungi, Kamis, 13 Oktober 2022. Hidden debt ini, kata Bhima, merupakan utang pemerintah yang seolah ditanggung oleh BUMN dan dicatat sebagai utang korporasi.
Padahal, menurut dia, pemerintah pula yang harus membayar cicilan utang tersebut. Risikonya, nanti sebagian utang menjadi tanggung jawab pemerintah. "Nilainya besar sekali karena termasuk di dalamnya adalah utang BUMN."