Xi Jinping dinilai lebih kuat dari Mao Zedong. (AFP/GREG BAKER)
arsipsumut.com
Pakar menyebut Presiden China Xi Jinping yang baru terpilih untuk periode ketiga lebih kuat dari pendiri negara komunis China, Mao Zedong.
Xi Jinping diprediksi akan mengambil banyak kebijakan garis keras mengenai ekonomi, hubungan luar negeri, hak asasi manusia (HAM) dan mengungkung perbedaan pendapat publik selama lima tahun ke depan.
Aktivis hak etnis Mongolia yang berbasis di Jerman, Xi Haiming mengatakan Xi telah memenuhi Komite Tetap Politbiro dengan sekutu dekatnya yang menunjukkan bahwa dia sekarang dapat bertindak sesukanya.
"Xi telah muncul, telanjang, sebagai Kaisar Xi, sebagai diktator," kata Xi Haiming dikutip dari Radio Free Asia, Selasa (25/10).
Ia berpendapat bahwa ada banyak orang di China yang mengantri menjadi kasim Xi, bersujud, hingga menunggunya naik takhta.
Kemudian, seorang jurnalis senior China yang menyebut dirinya keluarga Geng mengatakan China saat ini dengan tegas kembali ke era Mao.
"Kongres Nasional ke-20 ini adalah awal dari era Mao," kata Geng.
Senada, seorang peneliti senior di Center for China Economics and Institutions di Stanford University, Wu Guoguang mengatakan bahwa Xi memiliki lebih banyak suara tentang siapa yang akan menjadi perdana menteri.
"Xi Jinping memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk menunjuk perdana menteri pilihannya daripada Mao Zedong," kata Wu.
Komentator Twitter Cai Shenkun mengatakan Xi berpeluang membawa China lebih jauh dari reformasi pasar Deng. Menurutnya, sektor swasta akan mengalami erosi di bawah kepemimpinan Xi.
"Reformasi dan keterbukaan yang dimulai oleh Deng Xiaoping akan benar-benar ditinggalkan. Ekonomi milik negara akan menggantikan ekonomi pasar, dan kita akan melihat erosi sektor swasta di setiap bidang di bawah kemakmuran bersama [Xi]," cuitnya.
Ia menyebut bahwa kelas menengah akan diberangus dan kebebasan berbicara akan semakin diperas.
"Bahkan kebebasan kita yang terbatas untuk bepergian akan hilang selamanya," kata Cai.
Sementara itu, komentator urusan luar negeri, Wen Zhigang mengatakan sistem lama berupa 'kepemimpinan kolektif' di mana kekuasaan dibagi di antara pemimpin partai, ketua Kongres Rakyat Nasional dan perdana menteri, sudah benar-benar mati.
"Rakyat digunakan sebagai kode legitimasi politik," katanya.