Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Asia menyusul perlambatan tajam di China. (REUTERS/Thomas Peter).
arsipsumut.com
Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Asia menyusul perlambatan tajam di China serta perang Rusia-Ukraina yang tak kunjung usai.
IMF memangkas perkiraan pertumbuhan Asia menjadi 4 persen untuk tahun ini dan 4,3 persen pada 2023. Masing-masing turun 0,9 persen poin dan 0,8 persen poin dari proyeksi April lalu.
"Rebound (kebangkitan) ekonomi Asia yang kuat awal tahun ini kehilangan momentum, dengan kuartal kedua yang lebih lemah dari perkiraan," tutur Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF Krishna Srinivasan, dikutip dari Reuters, Jumat (28/10).
Menurutnya, pengetatan moneter lebih lanjut diperlukan untuk memastikan bahwa inflasi kembali ke target dan ekspektasi inflasi tetap berada di level semestinya.
Di antara hambatan terbesar Asia adalah perlambatan ekonomi China yang dipersoalkan karena kebijakan zero covid. Pengetatan mobilitas membuat kesengsaraan ekonomi, bahkan IMF mengatakan sektor properti negara tersebut makin memburuk.
"Dengan semakin banyaknya pengembang properti yang gagal membayar utang mereka selama setahun terakhir, akses sektor ini ke pembiayaan pasar menjadi semakin menantang," ungkap laporan IMF.
Secara khusus, IMF memperkirakan pertumbuhan China akan melambat menjadi 3,2 persen tahun ini atau turun 1,2 poin dari proyeksi April setelah sempat naik 8,1 persen pada 2021.
IMF menjelaskan negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu hanya akan tumbuh 4,4 persen tahun depan dan 4,5 persen pada 2024.
Sembari mengharapkan China untuk secara bertahap mencabut pembatasan ketat covid-19, IMF tidak melihat resolusi cepat untuk mengatasi krisis real estate di Beijing. Padahal, masalah ini perlu ditangani secara komprehensif.
Di lain sisi, negara-negara berkembang Asia dipaksa untuk menaikkan suku bunga untuk menghindari arus keluar modal yang cepat. Intervensi valuta asing yang bijaksana diklaim IMF mampu membantu meringankan beban kebijakan moneter di beberapa negara.
"Alat ini bisa sangat berguna di antara pasar valuta asing Asia yang lebih dangkal, seperti Filipina atau di mana ketidaksesuaian mata uang pada neraca bank atau perusahaan meningkatkan risiko volatilitas nilai tukar seperti di Indonesia," kata IMF.
"Intervensi valuta asing harus bersifat sementara untuk menghindari efek samping berkelanjutan," sambung mereka.