BI menilai pelemahan rupiah terhadap dolar AS karena ketidakpastian pasar keuangan global. (ANTARA FOTO/Reno Esnir).
arsipsumut.com
Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia (BI) Wahyu Agung Nugroho menyebut pelemahan rupiah terjadi karena ketidakpastian pasar keuangan global.
Menurutnya, ketidakpastian pasar keuangan global ini imbas dari kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS (The Fed). Kenaikan moneter ketat di AS pun diproyeksi masih akan terjadi.
Akibatnya, indeks dolar AS (DXY) semakin gagah perkasa. Hal ini yang kemudian mengganggu aliran investasi portofolio dan tekanan nilai tukar di negara-negara emerging market, termasuk Indonesia.
"Di sini kalau kita lihat misal dolar AS menguat, tapi ini tidak hanya khusus Indonesia, melainkan di seluruh dunia. Hal ini tercermin dari indikator dolar posisinya meningkat sampai 112. Ini level cukup tinggi," kata Wahyu di Ubud, Bali, Sabtu (1/10).
BI mencatat nilai tukar pada 30 September 2022 terdepresiasi 2,24 persen (ptp) dibandingkan dengan akhir Agustus 2022 lalu. Sementara, jika dibandingkan dengan level akhir 2021, rupiah terdepresiasi 6,4 persen (yoy).
Mengutip data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) BI, pada 1 September 2022, rupiah tercatat berada di level Rp14.884 per dolar AS. Rupiah terus tertekan hingga menyentuh Rp15.232 per dolar AS pada 30 September 2022.
Meski demikian, Wahyu menuturkan hal ini relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti India 8,65 persen, Malaysia 10,16 persen, dan Thailand 11,36 persen.
Wahyu mengklaim depresiasi rupiah yang lebih baik itu ditopang oleh pasokan valas domestik dan persepsi positif terhadap prospek perekonomian dalam negeri.
"Ke depan, BI akan terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian inflasi dan stabilitas makroekonomi," imbuhnya.
Wahyu menambahkan selama ini, BI selalu berada di pasar agar rupiah tidak terdepresiasi terlalu mendalam.
Adapun langkah yang ditempuh BI di antaranya, intervensi di pasar valas, baik melalui transaksi spot, domestic non deliverable forward (DNDF), dan pembelian/penjualan surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder.
Intervensi yang dilakukan BI tersebut, kata Wahyu, dilakukan agar pelaku pasar tetap optimis dengan perekonomian di Indonesia. Pasalnya, pelemahan nilai tukar rupiah ini lebih didominasi akibat tekanan eksternal.
Wahyu juga mengklaim pertumbuhan ekonomi RI masih kuat.
"Memang yang menjadi masalah Indonesia sebagai small open economy tidak punya pilihan selain merespons. Jadi siapa yang salah, siapa yang menanggung risikonya itu beda hal," tandas Wahyu.