Menteri Keuangan Sri Mulyani didampingi Wamenkeu Suahasil Nazara mengikuti Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 26 Agustus 2020. Dalam raker tersebut, Sri Mulyani dan Komisi Xi membahas Laporan Keuangan Kementerian Keuangan pada APBN 2019. TEMPO/Tony Hartawan
arsipsumut.com
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui efek luka yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam. Imbas pagebluk itu melampaui krisis keuangan 1997-1998 dan 2008-2009.
"Pandemi mulai dan sudah bisa dikelola meskipun belum sama sekali selesai. Pandemi meninggalkan scarring effect yang sangat dalam," kata Sri dalam acara UOB Economic Outlook 2023 pada Kamis, 29 September 2022.
Sri menjelaskan, masalah utama pandemi Covid-19 adalah terancamnya jiwa manusia. Penyakit yang disebabkan oleh virus baru ini pada awal penyebarannya belum ada temuan obat maupun vaksinnya.
Salah satu cara untuk memutus penyebarannya, pemerintah membatasi kegiatan masyarakat. Namun, pembatasan ini mengakibatkan kegiatan ekonomi hampir lumpuh.
"Policy pembatasan dan pembatasan itu memukul sangat dalam terutama pelaku kecil. Indonesia yang mayoritas juga didominasi perusahaan-perusahaan dan kegaitan sektor informal pasti sangat terpukul sangat dalam," ujar dia.
Beda halnya dengan krisis yang terjadi pada 1997-1998 dan 2007-2008. Krisis keuangan pada periode itu menyerang neraca lembaga keuangan, perusahaan asuransi, hingga korporasi besar. Neraca keuangan mereka terganggu karena nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat anjlok sehingga menyebabkan masalah pada sisi liability atau pinjaman.
"Menimbulkan dampak ancaman pada eksistensi atau keberlanjutan dari lembaga keuangannya dan itu berarti menimbulkan efek sistemik. Itu yang terjadi pada 1997-1998, 2007-2008, yaitu sumber maslahanya di neraca lembaga keuangan dan korporasi besar," kata Sri.
Meski masalah utama dan dampak dari krisis per periode itu berbeda, Sri Mulyani mengatakan ada cara yang sama yang dilakukan oleh pemerintah untuk menyelesaikan persoalan. Misalnya, memberikan relaksasi kredit.
"Karena kita menganggap para peminjam dari lemabaga keuangan terutama bank pasti menghadapi situasi sangat sulit saat pandemi di mana aktivitas sangat dibatasi atau bahkan berhenti," kata dia.
Kendati begitu, pemecahan masalah itu tidak akan cukup untuk membalikkan dampak luka ekonomi yang sudah sangat dalam. Karena itu, kata Sri Mulyani, pemerintah pun berupaya menggunakan anggaran sebagai instrumen fiskal untuk memberi bantalan ekonomi dan sosial ke masyarakat serta usaha kecil dan menengah.
Misalnya dengan menggelontorkan bantuan sosial terhadap 10 juta program keluarga harapan (PKH). Lalu, memberikan bantuan 18,8 juta sembako; bantuan terhadap UMKM; hingga bantuan subsidi upah untuk karyawan yang gajinya di bawah Rp 5 juta sebulan.
"Ini karena kita memahami bahwa masyarakat yang hidupnya tergantung cashflow harian sangat terpukul dengan pandemi scarring effect-nya dalam dan luas. Itu efek luka dari pandemi tidak hanya penyakit," kata Sri.
Dengan penanganan itu, Sri Mulyani mengungkapkan paling tidak lembaga internasional dan negara lainnya menganggap Indonesia sebagai negara yang paling efektif menangani dampak pandemi Covid-19. Apalagi, Indonesia tak menerapkan sistem lockdown.
"Ini yang kemudian Indonesia bisa mengendalikan Covid-19 dan bisa menjaga efek scarring-nya bisa diminimalkan. Indonesia tidak lockdown seperti di RRT (Cina). Karena kalau sampai lockdown dilakukan secara penuh, dampaknya akan jauh lebih luas," kata mantan bos Bank Dunia tersebut.