Perdana Mentri Kamboja Hun Sen Foto: REUTERS/Erik De Castro
arsipsumut.com
Perusahaan palsu China berkedok investasi crypto currency semakin merajalela di Kamboja. Mereka memanipulasi korbannya di dunia maya dan memperoleh penghasilan hingga ratusan ribu dolar.
Selama bertahun-tahun, perusahaan-perusahaan gelap itu bebas beroperasi dan ribuan korban dari berbagai negara di dunia terjerat dalam sindikat ilegal. Sebanyak 53 orang WNI yang baru-baru ini dilaporkan disekap diduga kuat sebagai bagian dari korban.
Hingga saat ini, para oknum di balik perusahaan itu seakan-akan tak tersentuh oleh pemerintah dan kebal oleh hukum. Pemerintah Kamboja seperti menutup mata akan kasus yang melibatkan perdagangan serta eksploitasi manusia ini.
Penyebab dibiarkannya perusahaan-perusahaan investasi ilegal asal China ini merajalela di Kamboja diungkap oleh tim jurnalis Al Jazeera dalam sebuah film dokumenter berjudul Forced to Scam: Cambodia’s Cyber Slaves. Film dirilis pada Jumat (15/7/2022) pekan lalu.
Hasil investigasi menunjukkan, kedekatan kaum elite asal China dengan petinggi di pemerintahan Kamboja menjadi salah satu alasan mengapa sindikat cyber crime ini masih berkeliaran dengan bebas.
“Kelemahan dalam pemerintahan yang sangat korup yang membiarkan kegiatan semacam ini terjadi,” ungkap seorang pakar keamanan siber, Jason Tower.
Ia merupakan seorang ahli yang telah melacak sindikat penipuan siber China di Asia Tenggara.
“Hal pertama yang mereka lakukan setibanya di Kamboja adalah mereka akan berupaya untuk membangun hubungan dekat dengan para pemimpin yang sangat senior,” sambung Tower.
Tower menjelaskan, ada banyak kaum elite atau pengusaha asal China yang tiba di Kamboja dan diduga memiliki akses eksklusif untuk bisa dekat dengan Perdana Menteri Hun Sen dan keluarganya. Sen sudah memimpin Kamboja selama 40 tahun lamanya.
“Jika Anda mulai melihat siapa saja nama-nama pada jabatan yang menjalankan bisnis di mana kegiatan ini berlangsung, Anda akan menemukan bahwa ada orang-orang yang berhubungan erat dengan tingkat kepemimpinan tertinggi di Kamboja,” imbuhnya.
Perdana Menteri Kamboja Hun Sen. Foto: TANG CHHIN Sothy/POOL/AFP
Salah seorang kaum elite China yang terlibat dalam sindikat perdagangan dan eksploitasi manusia ini adalah Dong Lecheng. Lecheng merupakan seorang pengusaha yang lahir di China, kemudian mengganti kewarganegaraannya menjadi Kamboja.
Dong merupakan penguasa di balik Yunnan Jing Chang Group, perusahaan induk dari Jin Sway, yang ternyata menaungi salah satu kamp penyekapan dan aktivitas ilegal ini terjadi. Kerap terlihat bersama dengan Sen, Lecheng sempat dijatuhkan hukuman oleh pengadilan China atas dugaan pencucian uang pada 2008.
Kedekatan antara Sen dan Lecheng ini juga terlihat pada 2018 lalu. Lecheng yang memiliki perusahaan maskapai penerbangan di Kamboja telah memberangkatkan Sen ke Sidang Majelis PBB di New York dan memfasilitasinya dengan kemewahan.
“Saya kira menawarkan fasilitas seperti ini tentu saja merupakan salah satu cara untuk mengembangkan bisnis di negara di mana aturan hukum tidak begitu ditegakkan,” tandas Tower.
Tak hanya Lecheng, berbagai kamp lain yang tersebar di wilayah Kamboja juga dimiliki oleh segelintir kaum elite China yang berpindah kewarganegaraan ke Kamboja. Kebanyakan dari mereka melakukan hal ini karena telah melakukan aksi kriminal di negara lain dan mencari perlindungan.
Berkuasanya Sen di Kamboja memiliki sisi gelap. Hasil investigasi Al Jazeera menunjukkan, sejumlah sindikat kriminal yang beroperasi dalam perdagangan manusia dan cyber crime China turut diduga berada di bawah pimpinan salah seorang keponakan Sen, yakni Hun To.
To menguasai segelintir kompleks kamp khusus di Kamboja, di mana ratusan hingga ribuan orang disiksa dan dipaksa menipu. To sempat didakwa oleh pihak berwenang Australia atas kasus perdagangan narkoba.
“Mereka mengkooptasi para elite, yang menawarkan mereka perlindungan penegakan hukum lokal tetapi juga dari penegakan hukum internasional, termasuk di China,” jelas Tower.